Blog

  1. Home
  2. Blog
  3. Refleksi Industri Pariwisata Indonesia: Tantangan, Pembelajaran, dan Arah Selanjutnya

Refleksi Industri Pariwisata Indonesia: Tantangan, Pembelajaran, dan Arah Selanjutnya

refleksi_industri_pariwisata_indonesia

Dinamika ekosistem pariwisata dulu, sekarang, dan nanti sejatinya tak akan lepas dari pergeseran kebijakan yang diproduksi di suatu era pemerintahan. Pergeseran kebijakan juga berarti pergeseran prioritas, pendekatan, dan manuver kebijakan yang implikasinya adalah penentuan bagaimana sektor ini akan berkembang, beradaptasi, atau bahkan memunculkan dinamika sektoral kedepannya.

Sebut saja, adaptasi struktural melalui pemisahan dua entitas antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (lihat: Permenpar No. 1 Tahun 2025) pada pemerintahan baru tentu akan memunculkan pertanyaan seberapa besar pengaruh perubahan konstelasi otoritas di lingkup nasional terhadap dinamika pariwisata kedepannya. Belum lagi hubungannya dengan faktor eksternal, seperti konsekuensi dinamika makroekonomi, krisis global dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan hadirnya pemerintahan baru, pertanyaan fundamental kerap muncul di benak industri dan pemerhati pariwisata: Sejauh mana dinamika sektor pariwisata akan mengalami perubahan signifikan? Apakah trennya akan bersifat inkremental (berkembang secara gradual), melemah, atau justru bersifat transformatif positif yang disebabkan inovasi paradigma baru dalam perkembangan sektor ini?

Menengok Ulang Kabinet Lalu: Dari Guncangan ke Penataan Ulang

1. Pariwisata dalam Ujian Ketahanan

Setengah dekade terakhir telah menjadi medan uji ketangguhan bagi sektor pariwisata Indonesia. Ketika krisis pandemi datang menghantam, bukan transformasi yang menjadi prioritas, melainkan resistensi dan pemulihan. Fokus utama kebijakan pun bergeser ke arah stabilisasi dan penyelamatan, bukan transformasi. Dalam konteks disrupsi luar biasa yang menimpa industri berbasis mobilitas ini, pendekatan tersebut bukanlah pilihan keliru, melainkan keniscayaan. Data dari UN Tourism mengonfirmasi bahwa pemulihan global pariwisata ke tingkat pra-pandemi baru benar-benar terwujud pada 2024. Maka dapat dipahami jika separuh dekade itu lebih banyak dihabiskan untuk bertahan, bukan melompat.

Di awal masa pemerintahan yang lalu, geliat pariwisata tampak menjanjikan: jumlah kunjungan wisatawan mancanegara meningkat hampir 58% dalam lima tahun, dari 10,23 juta (2015) menjadi 16,11 juta (2019). Namun, momentum itu seketika runtuh dengan Pandemi COVID-19 yang meluluhlantakkan industri. Jumlah kunjungan mancanegara sepanjang 2020 jatuh drastis menjadi hanya 4,05 juta, seperempat dari capaian tahun sebelumnya. Angka ini terus merosot hingga menyentuh titik terendah dalam dua dekade yakni hanya 1,5 juta kunjungan di tahun 2021. Dampaknya merambat luas: 409 ribu tenaga kerja sektor pariwisata kehilangan mata pencaharian di tahun 2020, okupansi hotel merosot tajam, dan rantai ekonomi di berbagai daerah yang menggantungkan hidup pada wisata praktis membeku. 

2. Dari Krisis ke Reposisi

Dalam menghadapi turbulensi tersebut, pemerintah mengambil langkah-langkah adaptif guna menopang sektor yang terpuruk. Program Hibah Pariwisata, penerapan standar CHSE (Clean, Health, Safety, and Environment Sustainability), kampanye “Di Indonesia Aja”, kebijakan Visa on Arrival (VoA), hingga dorongan digitalisasi sektor menjadi instrumen utama dalam rangka resistensi dan normalisasi.

Dua tahun setelah pandemi melanda, proses pemulihan berjalan beriringan dengan ketatnya mobilitas akibat kebijakan PPKM dan PSBB. Namun perlahan, eksistensi industri pariwisata mulai kembali terasa. Sektor akomodasi tumbuh sebesar 31%, transportasi mencatat kenaikan 16%, sementara penyediaan makanan dan minuman tumbuh 8%. Salah satu dorongan signifikan datang dari pembukaan kembali VoA di awal 2022, yang mendorong kedatangan 5,9 juta wisatawan mancanegara sepanjang tahun tersebut. Namun jika ditilik dari indikator pemulihan berbasis pasar, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tahun 2023 masih berada di bawah titik pra-pandemi, yakni 12,66 juta kunjungan, belum menyamai angka 2019. Tren serupa tampak di kawasan: Malaysia, misalnya, menerima 25 juta kunjungan di 2024, sedikit di bawah capaian 2019 (26,1 juta). Thailand bahkan masih terpaut dari puncak pra-pandemi, dengan 35 juta kunjungan pada 2024 dibanding 39,9 juta pada 2019.

Mengacu pada laporan WEF, kendati pariwisata global telah mencapai titik normalisasi pada 2024, konteks regional tetap membentuk jalur pemulihan yang tidak seragam. Kawasan Asia-Pasifik tercatat mengalami penurunan rata-rata skor TTDI (Travel and Tourism Development Index) sebesar 0,7% sejak 2021, terbesar di antara semua wilayah. Penyebabnya berkisar dari pelonggaran pembatasan perjalanan yang tertunda, pemulihan rute penerbangan yang lambat, hingga investasi yang belum kembali sepenuhnya ke sektor pariwisata. Dalam konteks nasional, keterlambatan penanganan pandemi dan lambannya pemulihan menjadi faktor pembentuk realitas yang tak mudah dielakkan. Sejumlah tantangan memang berada di luar kendali otoritas pariwisata secara langsung. Namun pelajaran penting dari periode ini adalah bahwa daya tahan sektor kepariwisataan belum dibangun dengan struktur yang kokoh.

Belajar Dari Yang Telah Lalu

1. Refleksi atas Resistensi yang Belum Tuntas

Pandemi yang telah usai menjadi refleksi atas uji daya lentur industri dalam menghadapi menghadapi tantangan. Ingatan kolektif pandemi yang mengguncang sektor periode kemarin memberikan sinyal bahwa industri belum cukup adaptif dan memiliki ketahanan terhadap krisis. Lantas, apakah kita benar-benar belajar?

Realitas bangkitnya sektor pariwisata tetap menjadi sesuatu yang perlu diapresiasi. Okupansi hotel yang kembali merangkak naik, destinasi kembali ramai, dan penyedia jasa wisata lain mulai meraup kembali pundi-pundi pendapatannya. Meskipun demikian, di balik semarak pemulihan tetap terselip kegelisahan akan kapasitas adaptif yang belum sepenuhnya terbentuk. Apakah sektor ini hanya bersandar pada bounce back sektor alamiah, atau telah secara sadar membangun mekanisme ketahanan jangka panjang?

Di tengah narasi pemulihan sektor yang belum mencapai level pra-pandemi, awal tahun 2025 setidaknya mulai menampakkan awan kelabu baru: melemahnya rupiah hingga ke level terendah sejak awal reformasi, menurunnya performa investasi dalam negeri, turunnya daya beli masyarakat, serta potensi gelombang PHK mulai muncul ke permukaan. Bahkan, BBC dalam artikelnya menyebut ruang fiskal Indonesia sebagai “compang-camping”, rentan tergelincir dalam spiral krisis. Dan ketika krisis datang, bukan sangat tidak mungkin sektor ini kembali menjadi yang pertama terhantam. Laporan dari ETC (2024), inflasi global di tahun 2024 telah memengaruhi traveller dari pasar eropa dengan cara menurunkan budget dalam melakukan aktivitas pariwisata. Dengan sektor pariwisata yang sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi karena bergantung pada pengeluaran konsumen, keamanan kerja, stabilitas ekonomi, dan kepercayaan konsumen, apa yang telah disiapkan dalam mitigasi untuk kondisi ini? Ataukah kita masih berkutat pada logika firefighting, menunggu masalah besar datang sebelum merespons?

2. Panggilan Kembali Atas Isu Keberlanjutan

Dalam ombang-ambing ancaman krisis, topik keberlanjutan juga kembali mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut artikel penelitiannya, Sard & Valle (2024) mencantumkan bahwa pandemi menjadi momentum kuat bagi banyak pemangku kepentingan untuk menyerukan transformasi menuju pariwisata yang lebih berkelanjutan. Namun mereka juga menekankan istilah again dalam “emphasising sustainability once again” cukup menyiratkan ironi: seruan ini bukanlah hal baru, melainkan gema dari agenda lama yang belum tuntas.

Pasar sudah bergerak. Studi Booking.com menunjukkan peningkatan minat wisatawan terhadap pilihan yang keberlanjutan. Wisatawan mulai ingin berwisata dengan makna, bukan sekadar berpindah tempat. Tapi apakah kebijakan dan industri telah mengikuti arah itu?

Di sinilah kita dihadapkan pada pekerjaan rumah yang sesungguhnya. Paradigma keberlanjutan belum benar-benar terimplementasi, ia masih seringkali berwujud jargon dalam dokumen resmi, belum terkonversi menjadi pola operasional pada tataran industri. Terlalu sering mengulang istilah ‘berkelanjutan’ tanpa adanya langkah yang komprehensif hingga cukup untuk mentransformasi industri. Istilah ‘berkelanjutan’ masih belum membumi bagi pelaku industri kata orang-orang. Kalau kata Wheeller (1993) yang telah sedari dulu bilang bahwa, jangan sampai industri pariwisata menggunakan bahasa ‘keberlanjutan’ hanya untuk tujuan pragmatis, yakni hanya komunikasi publik semata.

Penting untuk diingat, bahwa transformasi bukan hanya soal membuat program atau melabeli program dengan terminologi yang sophisticated. Ia perlu mendisrupsi cara berpikir hingga ke akar rumput. Kebijakan tidak bisa sekadar mengandalkan pendekatan teknokratis, mereka harus mampu menyentuh realitas industri dan memahami alasan resistensi sehingga industri juga akan bergerak ke arah positif secara seragam.

Yang tak kalah penting adalah upaya refleksi terkait paradigma keberhasilan pariwisata tampaknya masih perlu didefinisikan lagi. Seperti yang diungkapkan Hendrie A. Kusworo dalam tulisanya ‘menengok lagi kepariwisataan Indonesia untuk kesejahteraan’, selama ini ukuran keberhasilan pariwisata masih berputar pada indikator yang ekonomikal, seperti jumlah kunjungan, lama tinggal, dan belanja. Padahal dampak riil pariwisata membutuhkan lensa yang lebih luas: Sejauh mana kesejahteraan lokal dibangun? Sejauh apa lingkungan dijaga? Sejauh mana budaya dilindungi? Di sinilah pentingnya menyusun ulang paradigma untuk mengidentifikasi ekuilibrium antara eksploitasi dan konservasi demi tujuan pariwisata jangka panjang.

Mengintip Kabinet Baru

Pemerintahan baru telah mengumumkan lima program unggulan sektor pariwisata: Tourism 5.0, Gerakan Wisata Bersih, Pariwisata Naik Kelas, Event Global dengan IP Lokal, serta Pengembangan Desa Wisata. Sejumlah program tersebut merefleksikan semangat baru yang patut diapresiasi. Ada upaya membentuk kerangka kerja yang lebih positif dan komprehensif, dengan menjangkau level akar rumput sembari tetap mengarahkan strategi pada adaptivitas terhadap pergeseran pasar wisatawan. Penguatan desa wisata, misalnya, menjadi langkah strategis dalam menstimulasi ekonomi lokal. Di saat yang sama, kehadiran program seperti Pariwisata Naik Kelas menunjukkan pendekatan adaptif terhadap peluang pasar seperti gastronomi, bahari, dan wellness yang terus berkembang.

Lebih jauh lagi, adanya konektivitas antar program juga layak diapresiasi. Kolaborasi lintas agenda menjadi semakin memungkinkan ketika terdapat instrumen pendukung seperti Indonesia Quality Tourism Fund (IQTF), yang berpotensi mengakselerasi penyelenggaraan event berkualitas sekaligus mendorong upaya peningkatan mutu destinasi secara keseluruhan. Jika dikelola dengan baik, sinergi ini bisa memperkuat daya saing pariwisata Indonesia dalam jangka panjang, sembari memastikan keberpihakan terhadap kualitas, keberlanjutan, dan pemerataan manfaat.

Program-program ini tentunya menjanjikan semangat transformasi. Namun, seperti halnya agenda besar lainnya, perlu pembacaan yang lebih mendalam terhadap arah kebijakan yang akan dibentuk. Membedah paradigma dan orientasi baru dalam tata kelola pariwisata tentu tidak cukup disimpulkan dalam satu-dua kalimat. Yang lebih penting saat ini adalah memberi ruang refleksi dan evaluasi awal yang bersifat membangun. Beberapa kalimat yang disampaikan di tulisan ini bukan bentuk resistensi, melainkan kontribusi demi perumusan kebijakan yang lebih matang, terbuka, dan kolaboratif.

Salah satu catatan utama yang mungkin dapat menjadi perhatian lebih adalah transparansi serta keberadaan teknis yang jelas dan dapat diakses publik dari program-program yang ada. Melalui adanya jabatan publik mengenai dasar atau latar belakang program, agenda teknis, indikator capaian, dan peta jalan, akan memudahkan aktor pentahelix turut berkontribusi untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kalau kata Rees dan Woolf (2021), kejelasan, keterbukaan, dan berbasis bukti adalah fondasi penting dalam memperluas partisipasi yang nanti implikasinya merupakan keberhasilan tujuan program tersebut.

Berkaitan dengan isu berkelanjutan, antusiasme terhadap prinsip keberlanjutan di industri pariwisata Indonesia kian meningkat. Dalam ranah strategis, Indonesia telah  menjadi bagian Perjanjian Glasgow sebagai bentuk komitmen menuju Net Zero Emission, peresmian standar Blue, Green, CIrcular Economy (BGCE), Wise Trip Program dan inisiatif lainnya. Ini menjadi sinyal positif bahwa kesadaran kolektif mulai terbentuk dalam menjawab isu lingkungan, sosial, dan tata kelola yang semakin mendesak secara global. 

Namun, untuk benar-benar menjadikan keberlanjutan sebagai arus utama, diperlukan kebijakan yang tidak hanya menyerukan ataupun ber-antusiasme di awal saja, tetapi juga memfasilitasi seluruh pemangku kepentingan secara berkesinambungan untuk terlibat dan berkomitmen penuh atas apa yang menjadi tujuan akhir. Ini yang tampaknya masih membutuhkan perhatian khusus dalam ranah strategis. Banyak pelaku industri, tak terbatas pada skala kecil dan menengah, menghadapi hambatan nyata dalam bentuk kapasitas pengetahuan, akses informasi, hingga tingginya biaya transisi awal menuju praktik yang lebih berkelanjutan, baik itu untuk mengakses teknologi hijau, layanan penilaian, maupun sertifikasi. Kehadiran program inovatif yang menjembatani resistensi-resistensi ini, misalnya melalui skema pembiayaan hijau, layanan database, insentif teknologi ramah lingkungan, atau ekosistem pendampingan berkelanjutan, akan menjadi langkah krusial. Hal ini membuka peluang besar bagi transformasi industri yang berjalan secara serempak, inklusif, dan bertahap. Tentu saja, upaya tersebut memerlukan komitmen yang kuat, sumber daya yang cukup, dan pendekatan kolaboratif yang matang. Di tengah dinamika kebijakan yang sedang berkembang, keberlanjutan tidak seharusnya berdiri sebagai embel-embel, tetapi melekat sebagai fondasi dari seluruh arah kebijakan sektor. 

Selain itu, kembali merefleksikan periode sebelumnya, ketangguhan dan resiliensi juga sepatutnya masih perlu menjadi perhatian kolektif.  Adakalanya kita terlalu sibuk menumbuhkan tinggi pohon tanpa menyadari apakah akarnya telah tertanam kuat. Ketika badai datang, pohon tinggi itu bisa saja rubuh lebih dulu. Pandemi telah memberikan pelajaran mahal: pariwisata adalah sektor yang sangat cepat runtuh, dan sangat lambat untuk pulih. Ia tak bisa hanya disokong dengan promosi, insentif, atau optimisme pasar. Ia butuh sistem ketahanan yang dirancang secara sadar, antisipatif, dan berbasis data.

Absennya pedoman rencana menghadapi krisis memerlukan lirikan di tengah ketidakpastian global, tak terkecuali industri pariwisata. Kehadiran program inovatif yang dapat menjadi pedoman dan selayang pandang mengenai krisis, misalnya melalui ‘Blueprint Mitigasi Sektor Pariwisata’ dapat membantu pemangku kepentingan termasuk pemerintah dalam mempersiapkan potensi krisis kedepannya. Dokumen ini setidaknya perlu memetakan skenario-skenario krisis yang memungkinkan (misal, rupiah anjlok >20%), apa dampak potensialnya, sektor mana yang rentan, hingga respon apa yang dilakukan. Blueprint ini tidak hanya akan menjadi alat teknokratik, tetapi juga menjadi alat navigasi bagi arah pembangunan pariwisata ke depan dalam menghadapi dunia yang rawan akan guncangan krisis.

Menutup Pembahasan: Saatnya Melangkah Maju

Dalam menghadapi masa depan yang penuh dinamika dan perubahan cepat, sektor pariwisata di Indonesia perlu terus membayangkan visinya sebagai katalisator ekonomi nasional dan lokal. Perubahan pola wisatawan, urgensi keberlanjutan, hingga ancaman krisis menuntut tidak hanya adaptasi, melainkan transformasi yang menyeluruh di dalam industri. Terkadang kita terlalu melihat isu secara parsialitas dan tidak holistik sehingga setiap aktor bergerak dengan inisiatifnya masing-masing. Antusiasme yang tinggi tapi hilang ditengah jalan juga merupakan problematika internal yang kerap kita hadapi. Tanpa hadirnya konsistensi tersebut, wacana berkelanjutan hanya akan menguap begitu saja dan hanya meninggalkan jejak narasi di tengah diskusi.

Di tengah semangat baru kabinet dan geliat era kenormalan yang mulai harus utamakan, momentum ini adalah panggilan untuk merefleksikan kembali apa yang dapat kita bangun dan bagaimana dapat kita bangun. Dengan strategi yang komprehensif dan eksekusi yang konsisten, transformasi sektor pariwisata bukan sekadar keniscayaan, tetapi sebuah peluang untuk membentuk masa depan yang lebih resilien, berkelanjutan, dan berdaya saing global.

Artikel Terkait

Menu
English »