Blog

  1. Home
  2. Blog
  3. Peran Penting Platform Pelaporan Emisi Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan

Peran Penting Platform Pelaporan Emisi Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan

platform_pelaporan_emisi

Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan dampaknya sudah dirasakan saat ini di berbagai sektor, termasuk pariwisata. Kenaikan suhu global yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca (GRK) mengancam ekosistem, meningkatkan frekuensi bencana alam, dan mengubah pola wisata secara drastis. Untuk menjawab tantangan ini, dunia telah menetapkan target net zero emissions, yang tertuang dalam Paris Agreement dan diperkuat melalui Deklarasi Glasgow. Indonesia, sebagai bagian dari komitmen global ini, menargetkan penurunan emisi hingga 43,2% pada tahun 2030.

Dekarbonisasi (proses untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan semua emisi karbon yang dihasilkan manusia) telah menjadi agenda utama di seluruh dunia, termasuk di sektor pariwisata. Dengan emisi karbon dari aktivitas manusia—seperti transportasi dan akomodasi—menjadi penyumbang utama perubahan iklim, langkah menuju net zero emissions menjadi semakin mendesak. Salah satu strategi penting dalam upaya ini adalah carbon offsetting dan carbon reporting, yang memungkinkan bisnis pariwisata untuk mengurangi dan melaporkan jejak karbon mereka secara transparan.

Melalui blog series ini, kita akan mengulas lebih dalam bagaimana inisiatif ini diimplementasikan dan bagaimana industri dapat beradaptasi dalam perjalanan menuju pariwisata rendah karbon.

Membangun Dasar Dekarbonisasi: Mengapa Indonesia Membutuhkan Sistem Perhitungan Karbon di Industri Pariwisata?

Pariwisata Rendah Karbon adalah pendekatan dalam industri pariwisata yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari berbagai aktivitas wisata, mulai dari transportasi, akomodasi, hingga operasional destinasi. Konsep ini menekankan penggunaan energi terbarukan, efisiensi sumber daya, serta praktik berkelanjutan seperti manajemen limbah, konservasi air, dan promosi mobilitas ramah lingkungan. Dengan menerapkan pariwisata rendah karbon, industri dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim sekaligus meningkatkan daya saing destinasi melalui praktik yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Indonesia tengah bergerak menuju pariwisata rendah karbon, tetapi ada satu tantangan besar yang perlu diatasi adalah  belum adanya baseline data untuk perhitungan emisi karbon di industri ini. Tanpa data yang jelas dan terstruktur, sulit bagi pelaku industri maupun pemerintah untuk memahami sejauh mana kontribusi sektor pariwisata terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) serta langkah konkret apa yang harus diambil untuk menguranginya.

Sebagai bagian dari upaya menuju net zero emissions, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menetapkan Peta Jalan Dekarbonisasi Pariwisata yang diumumkan dalam AIS Forum 2023 di Bali. Salah satu langkah strategis dalam peta jalan ini adalah rencana pengembangan platform pelaporan atau Online Single Portal (OSP), sebuah sistem yang dirancang tidak hanya untuk mempermudah perhitungan karbon secara nasional tetapi juga memberikan manfaat lebih luas bagi industri pariwisata.

Melalui OSP, industri dapat memiliki akses ke sistem pelaporan karbon yang lebih transparan dan akuntabel, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi regulasi yang semakin ketat di masa depan. Dengan adanya sistem ini, pelaku usaha pariwisata tidak hanya dapat melacak dan mengurangi jejak karbon mereka, tetapi juga meningkatkan daya saing dalam ekosistem pariwisata global yang semakin menuntut praktik berkelanjutan.

Bagaimanakah kondisi industri pariwisata saat ini?

Industri pariwisata mulai mengambil langkah dalam mengurangi emisi karbon, baik secara sadar maupun tidak. Beberapa akomodasi telah menerapkan efisiensi energi dengan penggunaan lampu LED, panel surya, serta pengurangan konsumsi listrik. Selain itu, praktik seperti pemilahan sampah dan pengelolaan limbah juga mulai diterapkan, menunjukkan komitmen sektor ini menuju pariwisata yang lebih berkelanjutan. Meskipun upaya pengurangan emisi sudah mulai diterapkan, industri pariwisata di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam pengukuran dan pelaporan karbon. Untuk memahami kondisi ini lebih dalam, Wise Steps Consulting melakukan survei terhadap 56 pelaku industri pariwisata pada Desember 2024 – Januari 2025.

Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden industri telah melakukan pemantauan konsumsi energi dan pengelolaan limbah, meskipun masih menggunakan satuan konvensional seperti kilowatt-hour (kWh) untuk listrik dan kilogram (kg) untuk sampah. Namun, hanya 42,1% responden yang telah mengukur emisi karbon dalam satuan metric ton CO₂ equivalent (CO₂e), dan itu pun masih sebatas inisiatif internal tanpa standar pelaporan yang seragam.

Selain kesenjangan dalam metode perhitungan, sebanyak 58,9% responden belum melakukan pengukuran emisi sama sekali. Hal ini menunjukkan perlunya sistem pelaporan yang lebih terstruktur dan seragam untuk membantu industri memahami jejak karbonnya secara akurat. Dengan adanya baseline data dan sistem pelaporan yang terstandarisasi, industri pariwisata dapat lebih mudah mengukur, melaporkan, dan mengurangi emisi karbon mereka, sejalan dengan upaya dekarbonisasi nasional.

Tantangan Implementasi Dekarbonisasi di Industri Pariwisata

Meskipun dekarbonisasi menjadi langkah penting bagi industri pariwisata, proses transisi ini menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal.

Faktor Internal

1. Biaya Investasi yang Tinggi

Implementasi teknologi rendah karbon, efisiensi energi, dan sistem pengelolaan limbah membutuhkan investasi awal yang besar.

2. Keterbatasan SDM dan Pengetahuan

Banyak pelaku industri masih belum memahami bagaimana menghitung dan mengelola emisi karbon mereka.

3. Kurangnya Kesadaran tentang Dekarbonisasi

Banyak bisnis pariwisata yang belum memahami urgensi dan manfaat pengurangan emisi bagi keberlanjutan bisnis mereka.

Faktor Eksternal

1. Belum Adanya Standar Pelaporan Karbon

Tanpa format pelaporan yang seragam, pelaku usaha kesulitan dalam memonitor dan melaporkan jejak karbon mereka. Dibutuhkan mekanisme yang jelas untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan emisi.

2. Minimnya Informasi tentang Insentif dan Regulasi

Banyak industri yang belum mengetahui peluang insentif dan kebijakan yang dapat membantu mereka dalam transisi ke praktik rendah karbon.

3. Keterbatasan Akses ke Pihak Ketiga

Pengelolaan limbah dan perhitungan emisi seringkali memerlukan dukungan dari pihak eksternal, tetapi keterbatasan akses ke layanan ini di beberapa lokasi menjadi kendala.

4. Kesadaran Wisatawan yang Masih Rendah

Kesadaran wisatawan dalam upaya berkelanjutan terkhusus pada pengurangan karbon emisi dalam berlibur masih cukup rendah. Ini menyebabkan adanya resistensi wisatawan untuk turut serta dalam pengurangan emisi sekaligus juga mengurangi ‘alasan’ industri untuk bertransformasi menuju operasional bisnis yang lebih berkelanjutan.

Mengatasi tantangan ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan wisatawan untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon.

Apa pendapat industri mengenai sistem pelaporan ini?

Dalam upaya dekarbonisasi, keterlibatan industri pariwisata dalam sistem pelaporan emisi menjadi langkah krusial. Hasil survei menunjukkan bahwa 89% responden tertarik untuk berpartisipasi dalam pilot project pengukuran dan pengurangan emisi GRK. Namun, agar sistem ini berjalan optimal, 78,6% industri menyatakan perlunya pendampingan dan pelatihan rutin bagi tim pelapor, baik dalam memahami aksi iklim maupun dalam aspek teknis penginputan data emisi karbon.

Langkah awal menuju pelaporan yang akurat adalah inventarisasi emisi, di mana industri mencatat konsumsi energi, bahan bakar, dan limbah yang dihasilkan dalam operasionalnya. Data ini akan diinput ke dalam Online Single Portal (OSP) secara berkala, dengan preferensi pelaporan yang beragam: 42,9% memilih laporan bulanan, sementara sisanya memilih pelaporan triwulanan (23,2%), setengah tahunan (19,6%), dan tahunan (14,3%).

Agar sistem pelaporan ini dapat diterapkan secara luas, 64,3% industri menilai insentif sebagai faktor penting dalam meningkatkan partisipasi mereka. Insentif ini bisa berupa keringanan pajak, sertifikasi hijau, atau bentuk apresiasi lainnya yang mendukung transisi industri menuju operasional rendah karbon.

Lalu, bagaimana selanjutnya?

Dalam agenda perencanaan pengembangan Online Single Portal (OSP), terdapat beberapa fokus pengembangan yang akan dilakukan. Pertama adalah memperkuat fondasi sistem dan fitur utama untuk memastikan pelaporan emisi yang mudah dan efisien bagi industri pariwisata. Selanjutnya dalam jangka menengah, fokus agendanya adalah memperkuat kolaborasi dan edukasi bagi pengguna, termasuk integrasi dengan kebijakan pemerintah dan skema insentif. Dalam jangka panjang, OSP diarahkan pada pengembangan konektivitas dengan sistem global sehingga dapat menjadi alat utama dalam mendorong industri pariwisata menuju dekarbonisasi yang terstandarisasi dan berdampak nyata.

Dapat disimpulkan bahwa dekarbonisasi di sektor pariwisata bukan sekadar wacana, tetapi sebuah kebutuhan mendesak untuk memastikan keberlanjutan industri ini di masa depan. Dengan tantangan yang ada, langkah awal seperti pengukuran emisi yang akurat dan sistem pelaporan yang terintegrasi melalui Online Single Portal (OSP) akan menjadi pondasi penting dalam perjalanan menuju industri yang lebih ramah lingkungan.

Dukungan dan partisipasi aktif dari pelaku industri sangat dibutuhkan agar sistem ini dapat berjalan dengan optimal. Dengan terlibat dalam pengukuran, pelaporan, dan pengurangan emisi karbon, industri pariwisata tidak hanya berkontribusi terhadap upaya mitigasi perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan daya saing dan keberlanjutan bisnisnya.

Saatnya bergerak bersama! Bergabunglah dalam inisiatif ini dan jadilah bagian dari transformasi industri pariwisata yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Artikel Terkait

Menu
English »
Open chat
Halo 👋

Ada yang bisa kami bantu?