Blog

  1. Home
  2. Blog
  3. Sustainable Marketing: Strategi Pemasaran Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Sustainable Marketing: Strategi Pemasaran Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Sustainable Marketing Strategi Pemasaran Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Agenda “sustainable” telah menjadi perhatian khusus bagi berbagai pemangku kepentingan pariwisata global. Pada peringatan World Tourism Day 2022, salah satu pesan yang dibawa oleh Sekretaris Jenderal UNWTO Zurab Pololikashvili yaitu terkait Agenda Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) 2030 yang menjadi tujuan utama dari pembangunan pariwisata saat ini. Seluruh pihak di segala level mulai dari pekerja, pengelola destinasi hingga pebisnis di berbagai sektor diharapkan dapat berperan serta dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam konteks Indonesia, UU No. 9 Tahun 2021 sebagai landasan hukum serta acuan bagi pengembangan destinasi berkelanjutan di Indonesia menjadi bukti adanya perhatian pemerintah terhadap pengembangan pariwisata yang lebih berkelanjutan. Sejalan dengan perkembangan isu sustainable tersebut, “the father of modern marketing” Philip Kotler juga mengungkapkan bahwa isu sustainability dalam marketing (sustainable marketing) menjadi salah satu dari empat tren bisnis yang kedepannya patut dipertimbangkan.

Apa itu sustainable marketing?

Dalam sustainable marketing menurut Kotler, organisasi harus dapat memenuhi kebutuhan konsumen saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsepsi tersebut sejalan dengan pendapat Cooper (2005) yang menyatakan bahwa secara prinsip, keberlanjutan (sustainability) intinya adalah membatasi penggunaan sumber daya sembari dapat memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Sustainable Marketing Strategi Pemasaran Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Mengapa sustainable marketing penting

1.Pergeseran kecenderungan pasar Perhatian terhadap perjalanan yang memperhatikan sustainability dan pentingnya kelestarian lingkungan terus meningkat

Dalam banyak studi disebutkan bahwa sustainability kini menjadi faktor penting dalam pemilihan opsi berwisata (Weber, 2019). Konsumen sekarang memiliki kecenderungan untuk merespon secara positif ethical behaviour atau sesuatu yang terkait dengan kepedulian terhadap hal sekitar. Report oleh DMA terkait ‘Customer Engagement: Consumer Mindset in Acquisition’ menunjukkan bahwa aspek keberlanjutan (sustainability) menjadi salah satu faktor yang signifikan bagi pembelian. Sejalan dengan report tersebut, banyak studi lain yang menunjukkan hasil yang serupa, salah satunya adalah survey yang dilakukan oleh Booking.com (2022) menemukan bahwa 81% global traveller menganggap sustainable travel sebagai aspek yang penting, serta setengah (50%) responden menyatakan bahwa isu perubahan iklim menjadi faktor yang mempengaruhi mereka untuk berwisata secara berkelanjutan. Dengan kata lain, studi tersebut menunjukkan bahwa green dan ethical issue menjadi faktor yang signifikan bagi konsumen dalam menentukan pembelian suatu produk. Ketertarikan pasar terhadap produk atau brand yang turut berusaha dalam memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sekitarnya tampak meningkat pesat setelah pandemi. Pada survey yang dilakukan pada tahun 2021, Booking.com menemukan bahwa 61% wisatawan menyatakan bahwa pandemi membuat mereka ingin berwisata dengan lebih bertanggung jawab, serta ditemukan 70% responden dari survey yang dilakukan oleh BCG mengakui bahwa mereka lebih aware setelah pandemi tentang suatu hal yang mengancam lingkungan dan iklim. Oleh karena itu, pengembang bisnis perlu memperhatikan dan beradaptasi terhadap adanya kecenderungan pasar yang berubah tersebut.

Dengan demikian, perhatian terhadap aspek keberlanjutan sebenarnya dampak berdampak positif terhadap penjualan brand apabila dapat dieksekusi dengan baik di setiap prosesnya mulai dari perancangan produk hingga pemasaran. Di sinilah letak peran sustainable marketing. Konsep pemasaran tersebut membuat sustainable value yang diusung dapat tersampaikan ke konsumen sehingga dapat mempengaruhi terhadap penjualan produk maupun jasa.

2.Bagian dari kampanye

World Business Council for Sustainable Development menyebutkan dunia akan menghadapi beberapa tantangan kedepannya, di antaranya adalah 1) Populasi global yang mencapai 9 miliar pada tahun 2050 2) Peningkatan 3 kali lipat masyarakat ekonomi kelas menengah tahun 2030 3) Konsumsi sumber daya alam diperkirakan akan meningkat menjadi 170% pada tahun 2040. Tantangan-tantangan tersebut merefleksikan adanya potensi degradasi lingkungan karena faktor tekanan terhadap lingkungan serta adanya eksploitasi sumber daya yang berlebihan dan berkontinuitas.

Memang, bisnis pariwisata tak jauh dari dampak-dampak negatif yang dihasilkan, seperti karbon emisi, limbah wisatawan, hingga perilaku destruktif wisatawan yang mencederai lingkungan dan masyarakat lokal. Uniknya, dampak negatif pariwisata secara signifikan banyak dipengaruhi oleh sisi market (perilaku wisatawan). Oleh karena itu, pemangku kepentingan pariwisata bukan hanya berkewajiban mengimplementasikan pariwisata berkelanjutan dalam menjalankan bisnisnya, melainkan juga mempengaruhi mindset wisatawan untuk berwisata secara bijak.

Aktivitas marketing dapat berperan serta dalam mengatasi problematika tersebut karena kemampuannya yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen (Gordon dkk., 2011). Konsep integrasi antara marketing produk dengan kampanye isu sustainability bukan hanya berpotensi menimbulkan keinginan pembelian oleh konsumen, melainkan juga dapat mengedukasi konsumen terkait isu sustainability.

Baca juga: 6 Media Komunikasi Pemasaran Online Terbaik bagi Pengelola Destinasi Wisata

Bukan tanpa tantangan, implementasi sustainable marketing juga menghadapi beberapa problematika

1.Kurangnya apresiasi atau pemahaman tentang manfaat keberlanjutan

Pada masyarakat/pasar yang belum teredukasi secara maksimal mengenai perihal keberlanjutan, atensi terhadap konsep berkelanjutan pada brand bisa saja minim. Oleh karena itu, usaha-usaha pariwisata sebagai pionir perlu untuk mengkampanyekan sustainability secara kontinuitas kepada khalayak umum supaya terbentuk awareness masyarakat terhadap isu tersebut sekaligus memunculkan added value bagi destinasi yang telah mengkampanyekan dan menerapkan aspek keberlanjutan.

2.Investasi jangka pendek yang cukup besar

Investasi terhadap sustainability terkadang menghabiskan biaya yang tidak murah mulai dari perencanaan hingga operasionalisasi sehingga perlu adanya pengorbanan biaya. Namun, pemangku kepentingan perlu memahami bahwa pengorbanan tersebut merupakan investasi jangka panjang supaya sumber daya pariwisata tidak terdegradasi sekaligus juga supaya dapat menggaet sustainability tourist yang terus tumbuh. Dengan demikian, diperlukan upaya perencanaan sustainability marketing yang maksimal sehingga investasi terhadap sustainability menemui profit nantinya.

3.Rusaknya reputasi

Sustainability bukan hanya sekadar kampanye, melainkan juga memerlukan kesesuaian antara apa yang dikampanyekan dan praktiknya. Apabila kampanye sustainability-nya tidak sesuai dengan praktik di lapangan, maka berpotensi membentuk citra negatif di masyarakat atau pelanggan mengenai brand tersebut.

Bagaimana melibatkan diri dalam praktik Sustainable Marketing?

Didasarkan pada review publikasi oleh Kemper & Ballantine (2019) pada 200 paper publikasi, sustainable marketing terdiri dari beberapa tingkat keterlibatan, yakni:

  1. Doing less bad Fokus pada pembuatan dan promosi produk yang berkelanjutan. Produk yang berkelanjutan harus memperhatikan tiga jenis atribut: 1) Production condition, yang terkait dengan bagaimana proses produk tersebut dibuat (contoh: memperlakukan pekerja dengan layak dan baik); 2) Product characteristics, yakni terkait dengan isi produk dan fungsinya; 3) Exposures and Risks mengenai bagaimana penggunaan produk tersebut dapat mempengaruhi orang dan lingkungan.
  2. Doing more good Fokus dalam mempromosikan gaya hidup berkelanjutan. Suatu brand bukan hanya memproduksi produk yang berkelanjutan, melainkan juga mendorong perilaku berkelanjutan masyarakat umum melalui kampanye dan edukasi.
  3. Doing different Lebih lanjut lagi, suatu brand juga dapat melakukan tindakan nyata melalui keterlibatan langsung dalam upaya mengaplikasikan prinsip keberlanjutan (contoh: Program pembinaan desa wisata melalui CSR hotel)

Berdasarkan pembahasan di atas, implikasi dari pergeseran tren konsumen menyebabkan keberlanjutan yang dapat dilihat bukan hanya melalui perspektif etik, melainkan juga melalui perspektif bisnis. Oleh karena itu, penerapan aspek keberlanjutan pada bisnis patutlah dipertimbangkan, bahkan dengan dalih pengembangan bisnis untuk peningkatan profit perusahaan.

By: Muhammad Sofyan Hadi, Business Analyst

Artikel Terkait

Menu
English »
Open chat
Halo 👋

Ada yang bisa kami bantu?