Dalam beberapa dekade terakhir, isu perubahan iklim (climate change) kerap muncul ke permukaan dan mulai menjadi perhatian masyarakat dunia. Isu tersebut juga tak luput dari perhatian para pengembang industri pariwisata, karena memang nyatanya pariwisata merupakan salah satu industri yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, yakni dengan menyumbang kurang lebih 8% dari total emisi karbon dunia. Angka sumbangsih tersebut berasal dari aktivitas transportasi, penginapan wisatawan, dan berbagai aktivitas pariwisata lainnya.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa transportasi memiliki angka persentase yang signifikan dibadingkan kegiatan pariwisata yang lain. Lalu, mode transportasi apa yang paling banyak menyumbang emisi karbon?
Data di atas menunjukkan bahwa di antara mode-mode transportasi yang digunakan oleh wisatawan, pesawat merupakan mode transportasi yang paling banyak menyumbang emisi karbon. Bahkan, perlu diketahui bahwa sekitar 2.4% dari total emisi karbon dunia berasal dari industri penerbangan. Perlu diketahui dibutuhkan satu tahun bagi satu hektar hutan untuk menyerap jumlah emisi yang dihasilkan oleh penerbangan dari London ke New York, serta satu tiket pulang-perginya menghasilkan lebih banyak emisi daripada yang dihasilkan oleh rata-rata perseorangan di 56 negara dalam satu tahun. Cukup besar bukan? Selain itu, penerbangan pulang-pergi dari London ke San Francisco menghasilkan jejak karbon lebih dari dua kali yang dihasilkan oleh mobil keluarga dalam setahun, dan sama dengan setengah dari rata-rata jejak karbon yang dihasilkan oleh seseorang yang tinggal di Inggris. Analogi tersebut menunjukkan betapa besarnya jejak emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu perjalanan penerbangan.
Baca juga: Indonesia Menuju Climate Positive Tourism
Terlebih lagi, diproyeksikan masih akan terjadi peningkatan emisi karbon terkait transportasi sekitar 25% dari tahun 2016 ke 2030. Namun, melalui studi yang dilakukan oleh International Council on Clean Transportation pada tahun 2019, ditemukan bahwa emisi maskapai penerbangan saja telah meningkat sebesar 32% dari tahun 2013 hingga 2018. Peningkatan tersebut lebih cepat dari angka yang telah diproyeksikan oleh PBB.
Di balik tingginya jejak karbon yang dihasilkan oleh maskapai penerbangan, terdapat fakta menarik di dalamnya, yakni sebanyak 1% pengguna maskapai menyumbang 50% dari total keseluruhan jejak emisi yang dihasilkan oleh penerbangan global.
Bagaimana bisa?
Besarnya jejak karbon yang dihasilkan oleh 1% populasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas mereka yang tinggi dalam menggunakan maskapai penerbangan, melainkan juga karena kecenderungan mereka untuk memilih business-class dalam penerbangannya, yang notabene dapat menghasilkan emisi karbon lima kali lebih besar dibandingkan maskapai economy-class. Kemampuan dalam menggunakan maskapai dengan intensitas tinggi dan high-class tentunya dimiliki oleh masyarakat high-income. Oleh karena itu, mayoritas jejak karbon global dihasilkan oleh masyarakat high-income country seperti AS. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perseorangan pun dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil emisi karbon penyebab climate change. Apabila gaya bertransportasi tersebut tidak dikendalikan, disertai pula dengan kesejahteraan masyarakat global yang semakin meningkat, bukan tidak mungkin emisi jejak karbon akan meningkat secara masif dan pesat di masa mendatang. Memang, selain karena kerusakan lingkungan di daerah wisata, dampak mobilitas wisatawan menambah kesan betapa destruktifnya aktivitas pariwisata. Hal tersebut tak jarang menimbulkan wacana dilematis bagi industri pariwisata yang dianggap kerap merusak lingkungan.
Jadi, apakah kita perlu menghentikan semua aktivitas wisata dengan dalih untuk menjaga bumi yang kita tinggali?
Pada nyatanya, ibarat dua sisi koin, pariwisata merupakan industri yang esensial dalam menyokong ekonomi daerah hingga dunia. Di Indonesia saja, pariwisata merupakan salah satu industri penyumbang devisa terbesar. Sedangkan dalam konteks global, pariwisata menyumbang setidaknya 10% dari total GDP dunia, serta setidaknya 1 dari 10 pekerjaan masyarakat global terlibat dalam industri pariwisata. Buruknya efek pandemi terhadap usaha-usaha pariwisata dapat menjadi refleksi betapa berpengaruhnya kedatangan wisatawan terhadap perputaran ekonomi masyarakat global. Terlebih lagi, bagi masyarakat terpencil di beberapa wilayah yang menggantungkan hidupnya melalui pariwisata, kebutuhan untuk bertahan hidup di tengah turunnya kedatangan wisatawan dapat mendorong mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilegal. Oleh karena itu, eksistensi pariwisata sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat global.
Baca juga: Destinasi yang Khawatir Dengan Tingginya Jumlah Pengunjung Setelah Pandemi
Dengan demikian, untuk menekan dampak buruk yang dihasilkan terhadap lingkungan, yang perlu kita lakukan adalah menjadi wisatawan yang lebih bertanggung jawab dengan berwisata secara bijak. Dalam konteks penggunaan transportasi, seperti apa sih berwisata dengan bertanggung jawab itu? Berikut hal yang dapat kamu lakukan.
Tidak menggunakan pesawat apabila jaraknya masih relatif dekat dengan destinasi
Pesawat cenderung menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan mode transportasi lain. Oleh karena itu, selama perjalanan tersebut dapat ditempuh menggunakan mode transportasi lain terutama transportasi umum, maka alangkah baiknya apabila menggunakan cara alternatif tersebut. Namun, perlu diketahui juga bahwa solo travelling menggunakan mobil dapat menghasilkan karbon yang lebih banyak dibandingkan pesawat. Hal tersebut dapat terjadi karena faktor jumlah penumpang dalam satu kali perjalanan.
Memesan penerbangan non-stop / non-transit
Menggunakan direct flight dapat memangkas jarak terbang pesawat sehingga jejak karbon dihasilkan juga cenderung lebih sedikit. Selain itu, pesawat juga menghasilkan karbon lebih banyak ketika take-off dan landing. Dengan kata lain, semakin sedikit transit, maka jejak karbon yang dihasilkan juga lebih sedikit.
Menggunakan kelas ekonomi
Perbedaan jumlah jejak karbon yang dihasilkan antar kelas maskapai disebabkan oleh jumlah penumpang yang berbeda dalam satu kali penerbangan. Rata-rata kursi kelas bisnis lebih besar hingga dua kali dari kelas ekonomi, dengan begitu jumlah penumpang yang dapat diangkut dalam satu kali perjalanan maskapai kelas bisnis lebih sedikit daripada kelas ekonomi.
Meminimalisir pembawaan barang
Semakin berat barang bawaan yang dibawa, semakin banyak pula bahan bakar yang dibutuhkan oleh alat transportasi untuk mengangkut bawaan tersebut. Memilih barang yang dapat digunakan berulang-ulang dan menyewa peralatan di destinasi tujuan merupakan beberapa cara untuk meminimalisir jejak karbon yang dihasilkan dalam berwisata.
Melakukan slow-tourism dengan fokus pada satu area destinasi saja
Lebih baik menghabiskan waktu yang lama di satu destinasi daripada menghabiskan waktu yang singkat di beberapa destinasi. Selain karena banyaknya karbon yang dihasilkan dari berpindah-pindah tempat, fokus pada satu destinasi serta berinteraksi dengan masyarakat setempat dapat menambah kualitas berwisata sekaligus dapat berkontribusi terhadap ekonomi lokal.
Last, offset your carbon footprint!
Meskipun anda telah melakukan usaha-usaha di atas dengan tujuan meminimalisir jejak karbon perjalanan anda, jejak karbon dari perjalanan anda tetap tidak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, Anda dapat mengimbangi jejak karbon yang telah dihasilkan dengan cara melakukan carbon offseting sesuai dengan tema World Tourism Day 2022: Rethinking Tourism.
Jejak.in bekerja sama dengan Kemenparekraf dan Wise Steps Consulting untuk menginisiasi carbon footprint calculator melalui website Indonesia.travel. Melalui website tersebut, Anda dapat mengetahui berapa jumlah karbon telah dihasilkan dalam perjalanan Anda, yang kemudian dapat dibayar dan akan teralokasikan pada penanaman pohon. Dengan begitu, Anda telah berkontribusi terhadap penyerapan karbon global dan membayar karbon yang telah Anda keluarkan selama perjalanan.
By: Muhammad Sofyan Hadi, Business Analyst