Blog

  1. Home
  2. Blog
  3. 7 Cara Menyusun Recovery Plan Destinasi Pariwisata

7 Cara Menyusun Recovery Plan Destinasi Pariwisata

7 Cara Menyusun Recovery Plan Destinasi Pariwisata

COVID-19 memberikan sebuah pelajaran akan kebutuhan untuk memperkuat resilience atau ketahanan dalam menghadapi krisis di masa depan. Banyak destinasi memanfaatkan krisis ini untuk me-reset dan menciptakan keseimbangan baru dengan tidak hanya memaksimalkan benefit ekonomi semata, namun juga meminimalisir dampak lingkungan dan sosial budaya yang terkadang terlupakan. Pariwisata yang mempunyai kekuatan dampak yang luar biasa harus dikelola sebaik mungkin dengan mengarahkan pariwisata sebagai “force for good” yang berarti dampak positifnya lebih besar daripada dampak negatif yang dihasilkan. Pariwisata yang diinginkan adalah sistem pengelolaan dan aktivitasnya mendukung Sustainable Development Goals, sehingga manfaatnya sangat terasa bagi semua pemangku kepentingan.

Tidak ada yang menjamin bahwa krisis seperti ini tidak lagi terjadi di masa depan. McKinsey & Company meramalkan bahwa akan membutuhkan empat sampai tujuh tahun industri pariwisata untuk kembali ke level 2019. Kolaborasi dan manajemen data akan menjadi kunci utama dalam mendukung smart decision making serta menciptakan langkah aksi recovery yang efektif. Untuk itu Travel Foundation merumuskan sebuah pedoman bertajuk “Handbook to Assist with Tourism Destination Recovery Planning”  yang sudah digunakan oleh banyak destinasi di dunia dalam merumuskan strategi recovery-nya. Secara garis besar, upaya dalam merancang strategi recovery dibagi menjadi tujuh pillar yang terintegrasi, yaitu 1) Evidence-based planning and management, 2) Supporting business recovery and resilience building, 3) Impact management, 4) Marketing and promotion, 5) Monitoring and measuring success, 6) Destination future-proofing, 7) Sense-checking recovery plan.

WSC x Travel Foundation Program

Bagaimana kita mengetahui kondisi dan situasi saat ini? Tentunya tanpa adanya data valid sepertinya akan sulit dan hanya berbasis pada asumsi saja. Pillar pertama yaitu Evidence based Planning and Management menjelaskan tentang pentingnya data dan jenis-jenisnya untuk lebih memahami perubahan terkait kondisi ekonomi, lingkungan, dan tren sosial budaya di era pandemi. Tren pasar juga sangat penting untuk dianalisa agar destinasi siap dalam memenuhi ekspektasi wisatawan. Jenis data yang diperlukan ada dua jenis yaitu adalah recovery data dan resilience data. Recovery data dibutuhkan untuk lebih memahami terkait dengan dampak yang dihasilkan pada saar krisis, sehingga kita sebagai pengelola destinasi mengetahui sektor mana yang paling terdampak yang kemudian disusun skala prioritas. Contoh datanya adalah jumlah pekerjaan yang hilang, penurunan okupansi hotel, tingkat pengangguran, dan sebagainya. Sedangkan resilience data digunakan untuk mengetahui perubahan pasar sehingga dapat diketahui bagaimana cara beradaptasi. Contoh datanya adalah tingkat kepercayaan wisatawan (consumer confidence level), pola perjalanan (travel pattern), tren baru perjalanan (new travel trend). Data-data tersebut dapat dengan mudah didapatkan dari institusi global yang ada seperti UNWTO dengan Tourism Data Dashboard-nya.

Setelah lebih memahami tentang dampak yang dihasilkan terhadap destinasi, kita akan lebih memahami tentang kondisi dan situasi bisnis, masyarakat, dan pemangku kepentingan lain yang terdampak akibat krisis. Pillar yang kedua yaitu Supporting Business Recovery and Resilience Building berfungsi untuk memetakan berbagai macam dukungan dan pendampingan yang mungkin dapat dilakukan berdasarkan dampak yang dirasakan. Contohnya adalah dukungan finansial seperti insentif, relaksasi pajak, bantuan langsung tunai, dan pinjaman lunak. Selain itu dukungan yang dapat diberikan dapat juga berupa dukungan teknis seperti pelatihan gratis, sharing market intelligence, dan akses jaringan pasar.

Proaktif dalam pengelolaan dampak akan memberikan kesempatan dan mencegah mengulangi kesalahan di masa lalu. Terkadang kita lupa bahwa pariwisata selain memberikan dampak positif secara ekonomi, namun juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat setempat jika tidak dikelola dengan baik. Maka dari itu pentingnya pillar yang ketiga terkait Impact Management adalah lebih aware terhadap pengaruh dampak pariwisata yang terjadi di destinasi kita. Apalagi dengan terjadinya krisis, perubahan-perubahan yang terjadi akan berpotensi memberikan dampak negatif bagi destinasi. Sebagai contoh, dengan adanya pandemi, permintaan akan wisata outdoor semakin tinggi. Banyak orang lebih memilih berkunjung ke taman nasional, cagar alam, dan taman kota yang justru memberikan dampak negtif terhadap flora dan fauna di daerah tersebut. Kemudian orang juga cenderung menggunakan kendaraan pribadi untuk mencegah penularan yang malah berakibat kemacetan dan peningkatan polusi di destinasi tertentu. Oleh karena itu, pengelolaan dampak akan membantu pengelola destinasi dalam mengantisipasi perubahan dan potensi dampak negatif dengan strategi yang tepat, seperti visitor management, product innovation, dan traffic management.

Selanjutnya adalah aspek Marketing and Promotion yang mana pada saat krisis harus hati-hati dalam melakukan aktivitas ini. Banyak destinasi yang malah gencar berjualan paket dengan diskon besar-besaran dikala pandemi tanpa memikirkan efek jangka panjang. Perencanaan pemulihan tidak selalu diartikan sebagai taktik diskon yang dapat menyebabkan perang harga antar destinasi, namun situasi krisis malah dapat digunakan untuk lebih mengkomunikasikan pada unique selling proposition destinasi. Tetap menjaga mind share para wisatawan untuk masa depan diperlukan strategi pemasaran yang berbeda. Selain itu komunikasi pemasaran juga sangat penting dalam menangkap tren yang ada seperti tema nature, health, sustainability, dan wellbeing. Selain itu juga komunikasi tentang kesiapan destinasi akan protokol kesehatan sangat penting dalam membangun kepercayaan wisatawan di masa depan. Kesimpulannya, pemasaran di era krisis harus mengacu pada tiga hal, yaitu 1) responding to trends, 2) responding to impacts, dan 3) responding to fears.

Pillar selanjutnya adalah Monitoring and Measurement Success. Pillar ini menekankan pada bagaimana kita tahu apakah hasil perencanaan sudah berhasil atau tidak. Langkah aksi dan goals dari recovery plan harus dapat diukur keefektifannya melalui indikator yang jelas. Indikator yang dibuat tentunya harus didasarkan pada empat aspek, yaitu ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Indikator-indikator tersebut dapat dirangkai menjadi Key Performance Indicator (KPI). Selain itu pengelola destinasi juga dapat mengkategorikan indicator menjadi warning indicators, status indicators, indicators of effort, dan indicators of effect. Jumlah bisnis yang bangkrut, tanda degradasi lingkungan, dan tingkat kematian akibat COVID-19 dapat dikategorikan menjadi warning indicators. Adalagi indikator seperti jumlah pengunjung, pendapatan UMKM, tingkat pengeluaran wisatawan dapat dikelompokkan kedalam status indicators. Sedangkan indikator seperti jumlah bantuan tunai, tingkat vaksinasi, dan insentif dapat digolongkan kadalam indicators of effort. Dan yang terakhir adalah indicators of effect yang terdiri dari kepuasan pengunjung dan sebaran wisatawan. Indikator tersebut tentunya harus dipantau secara regular agar pengelola destinasi mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan dari recovery plan yang sudah dibuat.

Terkadang kelemahan-kelemahan destinasi seperti ketergantungan pada jenis market tertentu, seasonality, climate change, dan permasalahan lainnya dapat membatasi destinasi dalam menghadapi krisis di masa depan. Untuk itu diperlukan pemetaan terhadap kelemahan-kelemahan destinasi yang dibahas dalam pillar Destination Future Proofing. Pertanyaan seperti seberapa jauh ketergantungan destinasi terhadap suatu produk atau tema wisata? Seberapa jauh ketergantungan revenue suatu destinasi terhadap daerah tertentu, dan seberapa jauh ketergantungan destinasi pada tour operator tertentu? Semakin ketergantungan suatu destinasi terhadap sejumlah entitas kecil, maka vulnerability suatu destinasi akan semakin tinggi dalam menghadapi ancaman dan krisis di masa depan.

Ketika semua pillar-pillar diatas sudah terpetakan, maka hal terakhir yang dilakukan dalam penyusunan destination recovery plan adalah berkordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan termasuk penduduk local apakah rencana yang ditawarkan mampu untuk dijalankan oleh seluruh pihak melihat dari sumber daya yang dimiliki, kondisi, dan juga kapasitas yang ada.

Wise Steps Consulting bersama Travel Foundation meluncurkan program pelatihan, sertifikasi, dan pendampingan destinasi. Destination Recovery Program dari Wise Steps Consulting dan Travel Foundation membantu pengelola destinasi mulai dari pemerintah lokal, pemilik objek wisata, serta pengelola KEK pariwisata untuk memetakan strategi recovery bersama para pemangku kepentingan melalui program workshop yang dilengkapi oleh tools-tools diskusi.

By: Mochamad Nalendra

Artikel Terkait

Menu
English »
Open chat
Halo 👋

Ada yang bisa kami bantu?