Seiring dengan terus berkembangnya industri pariwisata global, tantangan-tantangan yang dihadapi dalam hal keberlanjutan juga semakin bertambah. Pertumbuhan ini juga menciptakan serangkaian tantangan yang berkaitan dengan aspek keberlanjutan (sustainability). Tantangan dalam menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan demand wisatawan bersamaan dengan melestarikan lingkungan semakin menjadi sesuatu yang kompleks. Maka dalam konteks ini, memahami dan mengatasi tantangan keberlanjutan menjadi sangat penting untuk memastikan keberlangsungan sektor pariwisata dalam jangka panjang sekaligus menjaga keberlangsungan bumi dan sumber dayanya yang ada di dalamnya untuk generasi mendatang.
Apa saja tantangan keberlanjutan utama yang dihadapi oleh sektor pariwisata saat ini?
Di antara berbagai tantangan yang dihadapi, salah satu tantangan utamanya adalah perubahan iklim dan emisi karbon dari pariwisata. Pariwisata berperan dalam menghasilkan gas rumah kaca yang signifikan melalui berbagai media seperti transportasi, akomodasi, dan berbagai aktivitas lainnya. Ketergantungan sektor ini pada bahan bakar fosil dan kontribusinya terhadap climate crisis menimbulkan dampak negatif keberlanjutan yang signifikan di beberapa tempat. Menurut World Travel & Tourism Council (2021), sektor perjalanan dan pariwisata bertanggung jawab atas sekitar 11% emisi global. Terutama transportasi, sebagai sub-sektor penting dalam pariwisata yang menonjol sebagai sumber utama emisi gas rumah kaca.
Tantangan lainnya adalah konsumsi energi yang tinggi. Pariwisata seringkali memberikan tekanan pada sumber daya alam seperti air, energi, dan lahan. Permintaan yang besar terhadap sumber daya air, penggunaan energi dalam akomodasi, serta perubahan dalam penggunaan lahan dalam pengembangan infrastruktur membutuhkan konsumsi energi. Pada konteks hotel, konsumsi energi di hotel rata-rata dapat mencapai 176,92 kWh/m2/tahun, dengan pendinginan udara sebagai kontributor terbesar terhadap konsumsi energi (Final Report Benchmarking Specific Energy Consumption in Commercial Buildings, 2019).
Kekurangan air dan penyalahgunaan air akibat pariwisata juga dapat menjadi tantangan serius bagi beberapa tujuan wisata dan masyarakat lokal. Sebuah hotel mengonsumsi rata-rata 1.500 liter air per kamar per hari yang jauh melebihi kebutuhan penduduk setempat di daerah water-stressed area (Sustainable Hospitality Alliance, 2018). Di beberapa daerah, pariwisata mengonsumsi lebih dari delapan kali jumlah air dibandingkan dengan populasi lokal. Bahkan, dengan standar hotel yang ada sekarang, hotel yang berada di daerah dengan pasokan air yang cukup-pun akan memiliki dampak yang signifikan apabila ditempatkan di daerah dengan ketersediaan air yang terbatas.
Limbah dan polusi juga merupakan outcome dari aktivitas pariwisata. Pariwisata menghasilkan volume limbah yang besar, termasuk polusi plastik, yang dapat merugikan lingkungan lokal (local environment), ekosistem laut (marine ecosystem), dan lanskap alami (natural landscape). Manajemen limbah dan infrastruktur pembuangan limbah yang tidak memadai semakin memperburuk permasalahan ini. Menurut The Wall Street Journal, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Tiongkok dalam hal polusi laut. Sebanyak 3,20 ton metrik limbah plastik yang tidak dikelola dengan baik (mismanaged plastic waste) dan 1,29 ton metrik plastik laut (plastic marine debris) masuk ke perairan global setiap tahunnya. Aktivitas pariwisata di daerah pesisir tentu juga berkontribusi terhadap tekanan yang diberikan kepada lingkungan. Aktivitas tersebut secara langsung berkontribusi terhadap polusi laut (marine pollution) sembari menggantungkan pula aktivitas wisatanya terhadap laut sebagai daya tarik bagi para wisatawan.
Untuk mengatasi salah satu tantangan utama dalam industri pariwisata, green investment dapat mengatasi permasalahan mulai dari pengelolaan yang terkait dengan pariwisata hingga dampak-dampak yang berpotensi akan mengurangi daya tarik tujuan wisata serta nilai dari aset pariwisata yang ada.
Apa itu Investasi Hijau (Green Investment)?
Terdapat beragam definisi mengenai green investment yang saat ini dipahami dan digunakan. Berdasarkan definisi dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), green investment mengacu pada aset yang didefinisikan sebagai “green“, misalnya perusahaan energi terbarukan atau carbon credit. Namun, investasi hijau juga dapat dijalankan dalam bentuk lapisan investasi (overlay investment) –berkaitan dengan aspek “green” lain, misalnya integrasi elemen perubahan iklim atau ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola) dalam pendekatan investasi umum atau kepatuhan SRI (investasi berkelanjutan atau bertanggung jawab sosial) secara hukum.
Gambar: Green Investment Pyramid Project
Bagaimana investasi hijau dapat berkontribusi dalam mengurangi dampak lingkungan dari industri pariwisata?
Pariwisata sering kali dikaitkan dengan efek negatif terhadap lingkungan. Kedatangan wisatawan dapat mempengaruhi secara signifikan tempat-tempat yang dikunjungi. Segala bentuk perilaku konsumsi beragam jenis sumber daya di tempat wisata selalu memiliki dampak. Green Investment dapat memegang peran penting dalam mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan oleh sektor pariwisata. Dengan mengalirkan suntikan finansial ke dalam praktik berkelanjutan, peningkatan infrastruktur, dan teknologi, investasi ini dapat mendorong adanya transformasi positif dan praktik yang lebih memperhatikan aspek ekologis dalam sektor pariwisata. Oleh karena itu, penerapan green investment dapat mendukung pengembangan praktik pariwisata yang berkelanjutan sehingga dapat mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.
Gambar: Green Investment Scheme
Contoh major project dari green investment di Indonesia dapat dilihat dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Indonesia, yang dikelola oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dan bekerja sama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) pada tahun 2016-2017 untuk mendorong penggunaan energi terbarukan pada infrastruktur yang tersedia. Melalui proyek “Mandalika Urban Tourism and Infrastructure Project (MUTIP)”, diadakan pemasangan 541 lampu jalan umum menggunakan energi surya, 20 sepeda motor dan mode transportasi lainnya sudah menggunakan listrik, dan Sea Water Reverse Osmosis (SWRO). Pengadaan tersebut merupakan bagian dari komitmen pengelola terhadap pengembangan pariwisata berkelanjutan. Menurut manajemen ITDC, pengadaan green & clean energy yang dilakukan akan memberikan pondasi awal untuk menciptakan pengembangan 50 MW panel surya di KEK Mandalika di masa depan, yang investasinya mungkin mencapai 75 juta Dolar AS.
Dalam kasus ini, tampak bahwa Mandalika membuka jalan bagi pengembangan energi terbarukan yang di saat bersamaan dapat mengurangi permintaannya terhadap sumber daya berbasis bahan bakar fosil. Transformasi tersebut akan secara signifikan mengurangi kontribusi terhadap perubahan iklim. Kesuksesan proyek tersebut tidak hanya akan menguntungkan destinasi itu sendiri tetapi juga dapat menjadi inspirasi bagi industri pariwisata yang lebih luas.
By: Muhammad Sofyan Hadi, Business Analyst & Rega Aldiaz Wahyundi, Junior Analyst Wise Steps Consulting