Telah menjadi paradigma umum bahwa pertumbuhan ekonomi terus-menerus menjadi tujuan berbagai negara di dunia. Pertumbuhan dianggap menjadi katalisator dari peningkatan kesejahteraan masyarakat global. Namun, pandangan tersebut juga diiringi dengan isu problematik, yang kemudian memunculkan kembali pertanyaan, “apakah benar pertumbuhan ekonomi terus-menerus tanpa akhir menjadi tujuan tunggal dalam mencapai kesejahteraan masyarakat global?”
Seperti halnya konsep GDP/PDB (Pendapatan Domestik Bruto) yang masif digunakan sebagai basis dan indikator tunggal bagi pertumbuhan ekonomi yang berdampak bagi “kesejahteraan”, konsepsi PDB tersebut dianggap telah gagal oleh para ahli dalam merepresentasikan kesejahteraan sosial yang sesungguhnya. Para ahli menganggap konsepsi PDB terlalu fokus pada angka ekonomi dan menafikan faktor-faktor yang juga esensial bagi “kesejahteraan” masyarakat, seperti isu keberlanjutan dan kualitas hidup (Rustia, 2011). Sejalan dengan hal tersebut, Philip Kotler mengungkapkan bahwa misi global dalam menumbuhkan ekonomi secara masif dan tanpa akhir telah berimplikasi terhadap degradasi sumber daya alam serta mengancam keberlangsungan bumi. Fenomena tersebut tentunya dalam jangka panjang akan mengurangi supply sumber makanan dan kebutuhan esensial lainnya.
Gambar 1. Hubungan Ketersediaan Sumber Daya dengan Faktor Lain
Sumber: Kahn (2022)
Isu paradoksial tentang konsepsi pertumbuhan ekonomi terus-menerus sebenarnya telah muncul sejak 1970-an. Pada dekade tersebut, terdapat tulisan “Sustainability Measure of Economic Welfare” dari Nordhaus dan Tobin yang mengusulkan untuk melibatkan nilai keberlanjutan pada pengukuran ekonomi (Rustia, 2011), serta gagasan “social marketing” dari Kotler sebagai model marketing yang dapat mendorong perilaku konsumsi yang lebih bertanggung jawab dan sehat (Kotler, 2022). Selain itu, Meadows et al. (1972) menulis report berjudul “Limit to Growth” juga telah menarik banyak perhatian para ahli tak terkecuali Kotler, karena relevansinya pada masa kini dan sejalan dengan konsepsi “social marketing” yang ditulisnya. Report tersebut telah membawa gagasan bahwa memperlambat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu cara untuk menjaga keberlanjutan bumi dengan lebih optimal.
Berdasarkan gagasan tersebut, terminologi “degrowth” mulai digunakan dalam merepresentasikan upaya perlambatan ekonomi untuk memastikan terminimalisirnya eksploitasi yang berlebihan pada sumber daya alam. Berkaitan dengan marketing, Kotler (2022) menyadari bahwa marketing memiliki peran besar dalam pertumbuhan ekonomi yang masif dikarenakan kemampuannya untuk dapat memengaruhi orang untuk semakin konsumtif. Berbagai perusahaan hanya berfokus untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya membuat sistem marketing didesain hanya sebagai alat meraup keuntungan yang besar. Padahal, kemampuannya dalam memengaruhi masyarakat dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong konsumsivitas yang lebih bertanggung jawab. Berangkat dari problematika tersebut, paradigma “less is more” yang diusung oleh Jackson Hickel banyak didukung oleh banyak social marketer untuk “menggunakan marketing dalam upaya mengubah perilaku dan gaya hidup” (Hickel, 2020; Kotler, 2022). Dengan demikian, gagasan “degrowth marketing” mulai muncul untuk mengafirmasi dan mendukung gagasan degrowth movement yang telah banyak didiskusikan oleh para ahli.
Baca juga: 6 Media Komunikasi Pemasaran Online Terbaik bagi Pengelola Destinasi Wisata
Apa relevansinya dengan pariwisata?
Tak dapat dipungkiri bahwa aktivitas pariwisata berpotensi menimbulkan tekanan pada ekosistem di destinasi. Selain berpengaruh secara langsung apabila praktik wisata dilakukan dengan destruktif, hasil dari limbah hasil wisatawan dan penggunaan sumber daya untuk kebutuhan pariwisata juga dapat mengancam supply sekaligus mengganggu ekosistem lingkungan destinasi. Seperti halnya di Bali, pariwisata telah mengkonsumsi sebanyak 65% sumber daya air setempat atau lebih banyak dari jumlah penggunaan rumah tangga masyarakat setempat dan industri lainnya (Cole, 2012). Dengan kata lain, semakin padat aktivitas wisatawan, maka akan semakin besar pula potensi dampak negatif yang dihasilkan. Kondisi kepadatan aktivitas wisata yang berlebihan di suatu destinasi dikenal dengan istilah ‘overtourism’. Dengan demikian, untuk mencegah terjadinya fenomena overtourism tersebut, kontrol terhadap permintaan wisatawan di suatu destinasi menjadi penting sebagai tindakan preventif dalam upaya meminimalisir dampak negatif yang akan ditimbulkan.
Bagaimana cara menerapkan Degrowth Marketing pada suatu destinasi wisata?
Penerapan degrowth marketing di beberapa destinasi wisata tentunya dilakukan dengan menyesuaikan kondisi, situasi, serta kebutuhan destinasi. Hood & Wood (2021) menggunakan konsep Marketing Mix 4P sebagai acuan dalam merumuskan dan merangkum beberapa opsi kebijakan degrowth marketing yang dapat diterapkan di suatu destinasi wisata. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Opsi Penerapan Degrowth Marketing melalui Marketing Mix
Aktivitas Marketing | Elemen Marketing Mix |
Menggunakan kebijakan harga dalam mengatur aktivitas wisatawan (misal, penetapan harga yang tinggi, biaya berdasarkan banyaknya tempat yang diakses atau lamanya waktu yang dihabiskan) | Price |
Menggunakan sistem pembatasan pada booking serta menerapkan sistem antrian | Price |
Membatasi promosi di beberapa media channel atau menghentikan promosi | Promotion, Place |
Mempromosikan dan mengkomunikasikan kebutuhan destinasi terhadap konservasi dan pembangunan berkelanjutan | Promotion |
Mengkomunikasikan bahwa terlalu banyaknya orang yang datang ke destinasi dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal | Promotion, Place |
Mengkomunikasikan pembatasan atau larangan selama berada di area destinasi wisata tersebut | Promotion, Place |
Kebijakan zoning yang dapat diterapkan seasonally maupun konsisten sepanjang waktu | Place, Product |
Membatasi ketersediaan akomodasi, parkir, pintu masuk, atau akses area | Place |
Membatasi kegiatan pada jangka waktu tertentu | Product |
Mempromosikan pengalaman atau kegiatan virtual | Promotion, Product |
Memanfaatkan interpretasi sebagai alat untuk mengatur perilaku wisatawan | Promotion, Product |
Sumber: Hall & Wood (2021)
Paradigma degrowth dalam konteks wisata pada nyatanya mulai diterapkan di berbagai destinasi dalam menjawab kebutuhan konservasi dan dampak negatif dari overtourism. Namun, hanya saja terminologi dan konsepsi mengenai degrowth masih belum banyak diketahui oleh para pemangku kepentingan. Kedepannya, degrowth marketing untuk membatasi konsumerisme masyarakat global dipercaya oleh para ahli akan menjadi tren marketing, terutama dalam menjawab isu keberlanjutan planet dan peningkatan kualitas hidup manusia.
By: Muhammad Sofyan Hadi, Business Analyst