Blog

  1. Home
  2. Blog
  3. 6 Tantangan Penerapan Bisnis Berkelanjutan

6 Tantangan Penerapan Bisnis Berkelanjutan

Pelatihan_bisnis_berkelanjutan

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan masalah lingkungan, semakin banyak bisnis yang mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam operasi mereka. Namun, bagi banyak perusahaan, perjalanan menuju praktik berkelanjutan penuh dengan tantangan. Dalam program Bantuan Rencana Aksi Keberlanjutan kolaborasi WWF Indonesia dan Wise Steps Consulting di Jakarta dan Bandung baru-baru ini, berbagai bisnis, mulai dari kafe hingga hotel, berbagi tentang kendala nyata yang mereka hadapi dalam menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan. Berikut ini adalah beberapa tantangan tersebut serta strategi yang digunakan perusahaan untuk mengatasinya.

1. Biaya yang Lebih Tinggi untuk Material Berkelanjutan

Salah satu tantangan utama yang dilaporkan oleh perusahaan adalah tingginya biaya material berkelanjutan. Alternatif bahan ramah lingkungan, seperti kemasan biodegradable atau bahan baku bersertifikasi, sering kali memiliki harga yang lebih mahal. Bagi bisnis kecil, terutama di sektor Makanan & Minuman (F&B), peningkatan biaya ini dapat menambah beban anggaran.

“Peralihan ke sumber yang berkelanjutan, terutama untuk minyak sawit bersertifikasi dan kemasan ramah lingkungan, memerlukan investasi yang cukup besar,” kata salah satu peserta program. Banyak perusahaan ingin mengadopsi praktik hijau namun harus menghadapi realitas peningkatan biaya operasional. Bagi mereka, keputusan untuk menanggung biaya tambahan atau menaikkan harga produk menjadi pilihan yang sulit, terutama di pasar yang kompetitif.

2. Keterbatasan Akses ke Vendor Berkelanjutan

Hambatan lain yang dihadapi perusahaan adalah sulitnya menemukan vendor terpercaya untuk produk dan layanan berkelanjutan. Banyak peserta dalam program Rencana Aksi Keberlanjutan mengungkapkan bahwa meskipun ada opsi berkelanjutan, jumlahnya masih terbatas di pasar lokal. Hal ini terutama berlaku bagi perusahaan yang ingin menggunakan minyak sawit bersertifikasi, bahan organik, atau kemasan ramah lingkungan di Indonesia. Bagi perusahaan yang ingin beralih ke pemasok yang lebih berkelanjutan, hal ini bisa menambah kerumitan dalam rantai pasokan.

Beberapa perusahaan telah mulai bekerja sama dengan vendor internasional atau organisasi seperti WWF yang membantu menghubungkan perusahaan dengan pemasok bersertifikasi. Namun, bagi bisnis kecil dan menengah (UKM), membangun kemitraan semacam ini masih membutuhkan upaya ekstra.

3. Resistensi dari Pihak Manajemen

Bagi bisnis besar yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, mendapatkan persetujuan dari manajemen puncak untuk inisiatif keberlanjutan bisa memakan waktu. Meskipun upaya keberlanjutan sejalan dengan tujuan bisnis jangka panjang, investasi awal seringkali membutuhkan komitmen besar dan bisa menghadapi penolakan dari departemen yang fokus pada hasil jangka pendek. Hal ini bisa memperlambat penerapan praktik-praktik keberlanjutan.

Beberapa perusahaan berhasil mengatasi tantangan ini dengan menunjukkan manfaat keberlanjutan melalui data. Dengan menunjukkan potensi penghematan biaya dari efisiensi energi atau pertumbuhan pendapatan dengan menarik konsumen yang peduli lingkungan, tim keberlanjutan dapat membuat argumen yang lebih kuat untuk investasi ini.

4. Kesenjangan Pengetahuan tentang Keberlanjutan

Banyak bisnis, terutama perusahaan kecil, menyebutkan bahwa kurangnya pengetahuan adalah hambatan dalam menerapkan praktik keberlanjutan secara efektif. Istilah seperti “emisi gas rumah kaca” dan “jejak karbon” sering terdengar abstrak, dan tanpa pemahaman yang jelas, perusahaan mungkin kesulitan untuk mengambil tindakan yang berarti dalam mengurangi dampak lingkungan mereka.

Pelatihan dan edukasi sangat penting untuk mengatasi kesenjangan ini. Program seperti Bantuan Rencana Aksi Keberlanjutan memberikan pemahaman dasar, mulai dari sumber emisi hingga teknik sumber berkelanjutan. Namun, dukungan yang berkelanjutan seringkali diperlukan agar bisnis merasa percaya diri dalam menerapkan praktik-praktik ini secara konsisten.

5. Kebiasaan dan Ekspektasi Konsumen

Bagi bisnis yang bergantung pada interaksi konsumen, seperti kafe dan hotel, ekspektasi dan kebiasaan konsumen bisa menjadi tantangan tersendiri. Banyak konsumen masih terbiasa dengan kemudahan plastik sekali pakai atau opsi yang lebih murah, dan mereka mungkin enggan untuk beralih ke opsi berkelanjutan. Hotel, misalnya, menghadapi kesulitan dalam mengurangi penggunaan plastik ketika tamu masih mengharapkan fasilitas yang dikemas dalam plastik.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, beberapa perusahaan mulai memasukkan edukasi konsumen ke dalam upaya keberlanjutan mereka. Dengan memberitahu pelanggan tentang manfaat lingkungan dari praktik berkelanjutan dan menawarkan mereka alternatif ramah lingkungan, bisnis dapat mendorong perubahan positif dalam perilaku konsumen.

6. Keterbatasan Infrastruktur Lokal untuk Pengelolaan Sampah

Salah satu masalah besar yang dihadapi bisnis di Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur pengelolaan sampah. Banyak perusahaan yang sangat ingin mengurangi sampah, namun tanpa akses ke layanan daur ulang dan kompos yang andal, upaya mereka seringkali terhambat. Misalnya, kafe dan hotel yang ingin mengurangi sampah plastik kesulitan menemukan fasilitas yang dapat menangani bahan-bahan biodegradable atau kompos secara tepat.

Tantangan ini menyoroti pentingnya kolaborasi lintas industri dan advokasi kebijakan. Beberapa perusahaan telah mulai bermitra dengan bank sampah lokal atau mengeksplorasi inisiatif ekonomi sirkular untuk memanfaatkan sumber daya yang ada. Namun, memperluas infrastruktur pengelolaan sampah yang berkelanjutan tetap menjadi area penting untuk kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta.

Jalan Panjang dengan Potensi yang Menjanjikan

Jalan menuju keberlanjutan tentu penuh tantangan, namun hasilnya sangat berharga. Meski menghadapi berbagai hambatan, para peserta yang ikut pelatihan SAP ini tetap berkomitmen untuk melangkah maju. Keinginan mereka untuk menghadapi tantangan, entah itu dengan mencari pemasok alternatif, mendidik konsumen, atau mengadvokasi perubahan kebijakan menunjukkan tekad untuk masa depan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dengan dukungan program seperti Bantuan Rencana Aksi Keberlanjutan, bisnis mendapatkan alat, wawasan, dan jaringan yang mereka butuhkan untuk membuat perubahan nyata. Meskipun jalannya mungkin tidak selalu mudah, dedikasi perusahaan-perusahaan ini menjadi inspirasi dan panggilan bagi bisnis lain untuk ikut ambil bagian dalam menerapkan keberlanjutan.

Artikel Terkait

Menu
English »
Open chat
Halo 👋

Ada yang bisa kami bantu?